Tim Nasional Kita Sudah Ke Depan, Tapi Sepakbola Kita Masih Rebahan
Hari Kamis, tanggal 2 Mei 2024, Tim Nasional U-23 telah memastikan meraih peringkat 4 setelah takluk tipis 2–1 dari Iraq di babak perebutan peringkat 3. Indonesia sempat unggul lewat sepakan menyusur tanah oleh Ivar Jenner pada menit 19 sebelum kemudian disamakan kembali oleh Iraq lewat sundulan Zaid Tahseen pada menit ke-27 memanfaatkan situasi scrimage di kotak penalti Ernando. pertandingan berjalan alot dan berakhir imbang pada waktu normal sehingga pertandingan berlanjut ke babak tambahan. Baru 6 menit babak tambahan berjalan, Ali Jaseem menambah kedudukan Iraq menjadi 2–1 lewat umpan long ball terukur dari kedalaman oleh J. Maslookhi. Indonesia berusaha mengejar ketertinggalan, tapi apa boleh buat Indonesia tetap tidak mampu menambah gol hingga pertandingan usai. 2 dari 3 tiket menuju olimpiade 2024 di Paris hangus, tersisa satu tiket terakhir menghadapi wakil Afrika yaitu Guinea pada hari Kamis, 9 Mei 2024 di Paris.
Ada kekecewaan, tapi lebih banyak lagi tepukan tangan diberikan oleh masyarakat Indonesia yang bangga bahwa Tim Nasional mereka sekarang sudah berada di level yang sama — walau hanya di level kelompok umur — dengan negara-negara unggulan seperti Iraq, Korea, Australia, Jordania, dan lainnya yang dulu selalu menjadi momok menakutkan. Timnas Indonesia menjadi omongan dimana-mana, mulai dari warteg-warteg dan pos ronda di pojok-pojok gang warga hingga rumah-rumah mewah pejabat yang sibuk ikutan mencari kesempatan mengangkat citra, semua berbicara tentang bagaimana luar biasanya Tim Nasional U-23 Indonesia di ajang AFC Asian Cup U-23 yang dilaksanakan di Qatar tahun ini.
Semua memang bangga bahwa Tim Nasional Indonesia telah maju semakin ke depan sejak ditangani oleh Pelatih Shin Tae-yong. berbagai sejarah ditorehkan oleh pelatih asal Korea ini selama 5 tahun ia melatih Timnas Indonesia. Mulai dari Timnas U-20, U-23, hingga senior berhasil ia bawa ke Piala Asia bahkan untuk timnas U-23 sampai ke babak semifinal dan timnas senior sampai ke babak 16 besar. Sejarah-sejarah yang ditulis oleh Shin Tae-yong dan anak asuhnya membuat masyarakat Indonesia terpikat ingin menonton Timnas Indonesia kembali dari yang sebelumnya selalu pesimis bahkan menonton saja enggan. Namun, dibalik euforia Timnas yang menggebu-gebu dimana-mana, tentu kita tidak boleh lupa bahwa yang maju ke depan barulah Timnas kita, sedangkan sepakbola kita masih rebahan dengan nyaman.
Program Naturalisasi pemain keturunan yang sedang gencar di jalankan oleh PSSI menjadi salah satu bukti bahwa memang sepakbola Indonesia masih jalan di tempat. Alasan utama dari gencarnya program naturalisasi ini adalah kebutuhan PSSI untuk mencapai target yang tinggi sedangkan kualitas talent pool yang ada tidak memadai jikalau hanya berharap dari Liga Nasional yaitu Liga 1. kurangnya talent pool ini menjadi tanggung jawab PSSI demi menunjang sepakbola Indonesia yang lebih baik kedepannya, tidak bisa hanya terus bergantung dari program naturalisasi yang sifatnya jangka pendek. Apakah kualitas sepakbola yang baik menentukan kualitas timnas yang baik? tidak selalu, tapi hal tersebut cukup memiliki hubungan yang erat satu sama lain. meski dengan kualitas sepakbola yang buruk seperti liga dan pengembangan yang tidak terlalu berjalan dengan baik, bisa saja timnas suatu negara dapat menjadi juara dalam satu turnamen tersebut seperti Iraq di tahun 2007 atau Yunani di tahun 2004. namun, mereka yang juara tanpa memiliki sepakbola yang baik, “kecemerlangan” timnasnya biasanya tidak bertahan lama atau tidak bisa konsisten untuk bersaing di level teratas sedangkan mereka yang punya pondasi sepakbola yang baik, meski tidak melulu selalu juara, tapi mereka selalu bisa konsisten bersaing di level tertinggi dan selalu punya peluang yang lebih besar untuk juara di tiap turnamen seperti Jepang, Korea, dan Australia dibanding mereka yang punya sepakbola yang buruk.
Soal pembinaan, Indonesia tentu sangat jauh dari kata baik dalam hal pengelolaannya. Indonesia tak pernah kekurangan bakat dari anak-anaknya, tapi bakat saja tidak cukup untuk bisa bermain dengan baik, gocak-gocek melewati 2–3 orang memang mengesankan di level anak-anak sedangkan di level pro hal itu tak mengesankan sama sekali. passing atau operan, penerimaan bola, sentuhan pertama, visi bermain, pergerakan tanpa bola, pemahaman peran, kombinasi operan, permainan efisien, itulah yang menjadi hal utama dalam sepakbola level pro. lihat saja bagaimana klub-klub yang bermain di liga nasional, betapa rendahnya persentase akurasi passing di tiap pertandingannya, jarang sekali ada yang mampu menyentuh akurasi 80% apalagi konsisten di angka tersebut. padahal akurasi 80% adalah ukuran angka yang minimal seharusnya bagi sebuah tim profesional yang bermain di level tertinggi suatu negara. kalau passing saja tidak becus, bagaimana permainan atau taktik mau dijalankan. belum lagi bicara soal pergerakan tanpa bola, football iq para pemain, pemahaman taktik para pemain, dan lain sebagainya.
Permasalahan pembinaan ini pun juga punya kaitan kuat dengan bagaimana pengelolaan liga yang baik oleh federasi. di Indonesia jenjang kompetisi mulai dari level anak-anak hingga ke level senior memang ada, tapi apakah liga-liga tersebut terutama selain liga 1 dan liga 2 berjalan dengan baik?. dari kualitas pemain lokal yang terlihat di liga 1 dan liga 2, dari talent pool yang tersedia bagi klub-klub profesional, nampaknya hal tersebut tidak berjalan dengan baik. jenjang kompetisi yang dikelola dengan baik ini begitu penting dalam memberi pasokan pemain yang lebih berkualitas bagi klub-klub profesional yang akhirnya juga akan meningkatkan kualitas liga nasional itu sendiri nantinya serta kualitas tim nasional negara tersebut. selain itu, jenjang kompetisi yang terkelola dengan baik dapat menghilangkan rasa kekhawatiran bagi para orang tua terhadap anaknya yang ingin berkarir sebagai pemain sepakbola dan kekhawatiran akan ketidakpastian karir sebagai pemain sepakbola inilah juga yang menjadi faktor lain yang memengaruhi kurang nya talent pool di sepakbola Indonesia.
Belum lagi soal ke-profesional-an klub-klub yang berlaga di liga 1 dan liga 2 yang kerap dipertanyakan ke-profesional-annya. di liga 1 saja dari 20 tim yang berlaga tidak sampai 5 tim yang mempunyai training center yang memadai dan milik sendiri. kemudian permasalahan penunggakan gaji yang begitu lazim terjadi di liga nasional tidak terkecuali liga 1. klub yang profesional harusnya menjadi acuan utama bagi penyelenggara liga dalam menyelenggarakan liga, tidak perlu memaksakan harus 18 atau 20 tim demi menarik keuntungan. Profesionalitas klub tentu meliputi ke-memadai-an fasilitas-fasilitas latihan dan stadion klub yang mumpuni, pengelolaan dana yang sehat termasuk didalamnya perihal gaji dan utang yang diemban oleh klub, dan aspek-aspek lainnya yang menunjang kesehatan dan ke-profesional-an klub. Contoh J-League (Liga divisi teratas Jepang) yang awalnya belajar dari Indonesia dalam pengelolaan liga dan sekarang mereka justru jauh sekali maju meninggalkan Indonesia, saat pertama kali J-League bergulir, mereka hanya diisi 8 klub. hal ini dikarenakan mereka lebih mengutamakan profesionalitas klub dibanding untung semata, bahkan hingga kini pun aturan tersebut masih mereka pegang erat, terbukti dari aturan mereka dalam hal apabila ada klub divisi 2 J-league yang sudah memastikan diri promosi ke divisi utama J-League dan ternyata klub tersebut masih belum masuk ke standar pengelolaan klub profesional yang telah ditetapkan oleh federasi, maka klub tersebut tidak boleh promosi dan diganti oleh klub lain yang sudah memenuhi standar tersebut dan apabila tidak ada klub yang memenuhi standar profesional yang ditetapkan, maka tidak ada yang promosi.
Terakhir, soal wasit dan hukum yang ketat dan lugas terhadap para pelaku per-sepakbola-an Indonesia — termasuk suporter didalamnya — , perihal wasit hal ini mulai diperbaiki oleh federasi dengan menggaet J-League sebagai bentuk kerjasama dan mentoring bagi para wasit agar lebih profesional meskipun memang masih banyak kekurangan disana-sini, tapi niat PSSI untuk memperbaiki aspek terlihat cukup jelas, apalagi perbaikan tentu sangat dibutuhkan juga dalam menyambut penggunaan VAR di Liga 1. Namun, perihal hukuman terhadap para pelaku per-sepakbola-an Indonesia ini masihlah kurang terlaksana dengan baik. banyak sekali kasus-kasus pelanggaran yang hukumannya tidak memberikan efek jera yang cukup bagi para pelaku tersebut. contoh penggunaan flare atau kerusuhan suporter, selalu saja hukumannya hanyalah denda atau bermain tanpa penonton, padahal sudah terbukti bertahun-tahun lamanya bahwa cara seperti ini tidak memberikan efek jera yang membekas bagi para pelaku. contoh lain soal klub-klub yang sering menunggak gaji para pemainnya, federasi harus jeli dan peduli terhadap hajat para pemain yang menggantungkan hidupnya dari gaji tersebut. harus ada ketegasan dari federasi terkait hal ini agar kedepannya tidak ada lagi klub-klub yang dapat semena-mena dalam memperlakukan pemain-pemainnya. Satu lagi soal Kanjuruhan, Federasi dalam hal ini sungguh sangat mengecewakan, tidak ada hukuman yang tegas terhadap klub dan pelaku yang terlibat. kalau cuma hanya bisa berkabung dan turut berduka, jangan kaget kalau di masa depan peristiwa seperti yang terjadi di Kanjuruhan dapat terjadi lagi.
Euforia yang gegap gempita memang tak dapat dibendung dari hati setiap jiwa masyarakat Indonesia. bicara soal Tim Nasional Indonesia, tak ada yang namanya me-manage ekspektasi. sedikit saja dibelai angin sepoi kemenangan, maka saat itu juga ekpekstasi langsung melambung tinggi tak karuan. tak ada yang salah dari hal itu, yang salah adalah bagaimana respon kita dalam menanggapi ketika harapan yang tinggi tersebut ternyata hanyalah harapan semu. dengan sepakbola kita sekarang dan berbagai kotorannya yang berkerak dimana-mana, boleh saja bertepuk tangan dan bergembira ria dengan bagaimana timnas kita sekarang yang sedang maju ke depan. namun jangan lupa, memang dalam jangka pendek harapan yang muncul itu nampak kuat dan terang, tapi dalam jangka panjang ia rapuh dan rentan karena sepakbola kita masih rebahan