Sadarkah, Kita Terlalu Hancur
Jumat, 17 Mei 2024 sebuah pernyataan resmi dari klub terbesar di Italia yaitu Juventus tersaji di linimasa, kabar tersebut adalah sebuah kabar gembira yang begitu lama diidam-idamkan oleh para Juventini — sebutan untuk para penggemar Juventus — sejak musim kemarin. kabar yang kembali membangunkan antusias para Juventini yang sudah lama beku di bawah kepemimpinan Allegri 2 musim terakhir. ya, kabar itu adalah kabar dipecatnya Massimilliano Allegri atau lebih dikenal dengan Max Allegri tepat sehari setelah dirinya serta tim berhasil mengalahkan Atalanta dengan skor sangat “mencolok” 1–0 dan mempersembahkan gelar Coppa Italia yang ke-15 untuk Si Nyonya Tua.
berbagai kabar dan rumor bertebaran, berserakan di linimasa setelah pernyataan tersebut mencuat dari akun resmi media sosial Juventus. salah satu kabar yang paling mengejutkan adalah betapa renggangnya hubungan antara Allegri dengan manajemen, terutama dengan sang Direktur Olahraga Juventus yaitu Cristiano Giuntoli yang didatangkan di tahun kemarin dari Napoli. mereka berdua bahkan dikabarkan tidak berkomunikasi sejak Januari 2024, tentu ini sangat mengejutkan bagi para Juventini, pasalnya keretakan antara Allegri dengan manajemen ini tidak nampak secara gamblang tergambarkan dari informasi-informasi yang mencuat di media. dari informasi-informasi yang tercecer di linimasa, justru indikasi keretakan yang paling jelas terlihat adalah keretakan antara Allegri dengan para pemain terutama dalam hal perbedaan gaya main dimana para pemain menginginkan gaya main yang lebih ofensif ketimbang gaya main defensif yang ditawarkan oleh sang Allenatore — sebutan pelatih dalam bahasa Italia — .
saat artikel ini ditulis, Juventus sedang bercokol di posisi ke-4 dengan poin 68, sama dengan Bologna yang berada di peringkat ke-3 hanya saja Bologna lebih unggul selisih gol ketimbang Juventus. kendati demikian, Juventus telah dipastikan mengunci kuota Champions League musim depan karena perubahan format Champios League musim depan dari jumlah peserta yang awalnya 32 klub menjadi 36 klub sehingga Serie A — sebagai liga dengan koefisien terbaik saat ini bersama Bundesliga di peringkat ke-2 — mendapatkan kuota 5 klub untuk mengikuti turnamen Champions League musim depan. 1 Coppa Italia dan tiket Champions League yang dipersembahkan oleh Allegri tentu tidak terlihat terlalu buruk jikalau dipandang dari perspektif klub-klub yang level menengah atau mid tier.Namun, Juventus adalah salah satu klub terbesar tidak hanya Eropa bahkan dunia seperti Bayern Munich, Barcelona, Madrid, Manchester City, dan Liverpool yang tiap tahun selalu menargetkan juara di tiap kompetisi yang mereka ikuti, seperti itulah standar yang harus dipenuhi oleh pelatih-pelatih yang menangani Juventus seharusnya. tidak bisa hanya puas dengan rengkuhan prestasi yang biasa-biasa saja. masalah permainan yang atraktif tentu bisa diperdebatkan, tapi sudahlah prestasi minim, permainan buruk pula. maka, wajar 2 tahun terakhir tagar #Allegriout selalu menggema dari ketikan-ketikan para Juventini yang sudah jengah dengan kondisi ini.
Soal Permainan, memang di zaman sekarang, permainan modern yang dimainkan oleh pelatih-pelatih asal Spanyol dan Jerman menjadi standar utama gaya main tim-tim kelas atas. namun sebenarnya, bukan berarti gaya main pragmatis telah sepenuhnya ditinggalkan, gaya main ini masih digunakan oleh pelatih-pelatih ternama, tapi bukan sebagai rencana/taktik utama. kalaupun gaya main pragmatis ini menjadi taktik utama suatu klub besar, itupun tak mengapa asalkan eksekusi nya tetap rapi dan benar. Perkara eksekusi taktik memang di tangan para pemain, tapi bukan berarti pelatih tidak ada andil dalam kelancaran eksekusi tersebut bisa ter-eksekusi dengan baik. penerjemahan taktik kepada pemain, latihan-latihan yang sesuai demi meng-akomodir taktik tersebut dan bagaimana kesesuaian taktik tersebut dengan materi pemain yang dimiliki, menjadi poin-poin utama bagi pelatih dalam membantu para pemain agar eksekusi taktik yang diinginkan dapat berjalan dengan baik. Ancelotti di Real Madrid Membuktikan bahwa gaya main pragmatis juga bisa menyenangkan, rapi, dan memuaskan buat ditonton. Lantas, mengapa Pragmatisme yang dibawakan oleh Allegri di Juventus begitu membosankan dan tidak menarik ditonton hingga menjadi meme diantara para penikmat sepakbola karena shape bermain Juventus yang seperti sangkar burung akibat build up Juventus yang aneh yaitu dengan memosisikan hampir semua pemain di sayap dan mengosongkan lini tengah sehingga justru malah memudahkan musuh dalam menutup ruang Juventus dalam membangun serangan. ujung-ujungnya Allegri hanya berharap kepada Rabiot, McKennie atau Chiesa untuk melakukan suatu keajaiban di lapangan.
Allegri dan Juventini memang pernah memadu asmara di masa lalu, 5 gelar Serie A, 4 gelar Coppa Italia, 2 gelar Super Coppa Italia, dan 2x menjadi finalis Liga Champions tak lantas membuat Allegri kebal dari kritik dan cacian ketika ia kembali melatih Juventus. mayoritas Juventini tidak menuntut permainan yang atraktif lagi njelimet ala Pep atau Arteta, yang mereka inginkan adalah permainan yang memiliki struktur yang kuat dan rapi, efisien dengan tingkat akurasi yang tentu saja minimal di atas 90% seperti yang Ancelotti lakukan di Madrid atau seperti apa yang Allegri lakukan sendiri ketika pertama kali ia menukangi Juventus.
dari gelakan tawa para fans rival di linimasa, dari komentar-komentar post-match Allegri yang absurd nan musykil, dari segala rumor dan desas-desus ketidakselarasan di ruang ganti Juventus, akhirnya pertanyaan — “sadarkah, kita terlalu hancur” — ini terjawab sudah dengan dipecatnya Allegri. ciao Allegri