Masih “Apa”, Belum “Mengapa”
Dari remah-remah bacot dan pergulatan mereka yang bernaung di lini masa, dari desas-desus jalanan yang tak sengaja hinggap di telinga, dari 360 menit waktu normal yang telah dilalui di Piala Asia, kita dapat melihat bahwa permainan Tim Nasional Indonesia masih ditingkat “apa”, belum “mengapa”.
Kalau mengacu pada Taksonomi Bloom milik Benjamin Bloom, tingkat “apa” ini merupakan tingkatan pembelajaran yang paling bawah dari 6 tingkatan yang ada yaitu mengingat atau hafalan. Hal ini tercermin begitu jelas dari pengambilan keputusan atau decision making para pemain di lapangan. Mereka tau formasi apa yang diperintah oleh sang pelatih. Namun, mereka tidak paham mengapa harus formasi tersebut yang digunakan dan apa maksud tujuan dari penggunaan formasi yang dipilih oleh pelatih. padahal, pemahaman terhadap hal ini akan memberi begitu banyak pengaruh khususnya pada pengambilan keputusan atau decision making para pemain.
contoh pada formasi 5–4–1 seperti yang digunakan oleh Shin Tae Yong ketika menghadapi Jepang di laga terakhir fase grup Piala Asia kemarin. formasi 5–4–1 ketika bertahan ini digunakan agar para pemain di posisi sayap dapat membantu para bek tengah dalam menutup zona half-space yang dibuat oleh pemain lawan. selain hal itu, pemain sayap juga dituntut untuk sesekali membantu serangan tergantung situasi pertandingan tanpa melupakan keharusan untuk track back demi menutupi lubang-lubang yang ditinggalkan. 2 poin tersebut adalah 2 poin utama penggunaan formasi 5–4–1 bagi para pemain sayap. Jika para pemain sudah mencapai tingkat “mengapa” atau pemahaman maka dalam mengeksekusinya akan berfikir bagaimana cara untuk menjalankan 2 poin utama tadi dengan efisien, kreatif, dan tidak text book atau terikat pada teori. berbeda seperti apa yang ditunjukkan oleh sisi sayap Indonesia ketika melawan Jepang kemarin, para pemain sayap kerap kali melupakan tugas utama mereka akibat terpancing pergerakan pemain-pemain lawan. selain itu, koordinasi antara pemain sayap dengan bek tengah Indonesia masih terlihat kagok sehingga beberapa kali pemain Jepang mampu mengelabui para pemain Indonesia lewat pergerakan dinamis tanpa bola mereka di sisi sayap. contoh terbaiknya adalah ketika gol ke 2 Jepang yang dicetak oleh Ayase Ueda di menit 52. Hal ini dapat terjadi dikarenakan Jepang memberikan suatu pergerakan yang begitu rumit dan kompleks yang tidak tercakup dari “hafalan” yang ada di kepala para pemain Indonesia.
Perkara masih “apa”, belum “mengapa” ini sebenarnya juga merupakan permasalahan utama di pendidikan kita. misalnya, kebanyakan siswa melihat angka 2 sebagai 1+1 karena diajarkan nya selalu begitu. padahal, 2+0, 4–2, 5–3, 20–18 juga merupakan cara untuk mendapatkan angka 2. ketidakterikatan pada teori akan memberi keleluasaan berpikir sehingga dapat menimbulkan solusi-solusi yang efisien juga kreatif dalam menghadapi suatu permasalahan.
Lalu, bagaimana cara sepakbola Indonesia untuk meningkatkan kualitas para pemainnya yang dari tingkat “apa” menuju “mengapa” ?
Dari sisi Federasi yaitu PSSI, haruslah ada kurikulum pengajaran sepakbola yang terstruktur serta dapat dilaksanakan dengan baik bagi pemain-pemain sepakbola Indonesia mulai anak-anak hingga usia remaja. Indonesia sudah memiliki kurikulum pembelajaran yang dicetuskan oleh Danurwindo yaitu Filanesia. Namun, pelaksanaan kurikulum ini masih terbilang belum benar karena penyebarannya masih tidak merata. Federasi bertanggung jawab untuk menyebarluaskan kurikulum yang mereka punya ke sekolah-sekolah sepakbola di seluruh daerah agar sekolah-sekolah tersebut dapat mengajarkan sejak dini cara-cara bermain sepak bola yang benar, membantu meningkatkan kualitas pikiran para pemain dari hafalan ke pemahaman nantinya. hal ini juga tentunya dibarengi dengan peningkatan kualitas SSB dan kualitas turnamen berjenjang yang baik
Selanjutnya dari sisi individu, bagi mereka yang memiliki kepintaran atau meminjam bahasa para jurnalis bola yaitu football iq yang baik, tentu untuk bisa mencapai tingkatan pemahaman merupakan satu hal yang terbilang cukup mudah. namun, bagi mereka yang tidak memiliki kelebihan tersebut, maka harus bekerja lebih keras untuk meningkatkan kualitas football iq mereka. tidak cukup hanya dari instruksi pelatih tapi juga harus belajar secara mandiri tentang strategi dan posisi para pemain khususnya posisi dimana ia ditempatkan. setiap tim memiliki tim analis yang membantu para staf pelatih dalam menganalisa permainan tim atau tim lawan, hal ini bisa menjadi jalan bagi para pemain untuk meningkatkan kualitas pikiran mereka dengan sering berkonsultasi kepada para analis tersebut. seperti yang telah saya sebutkan di bagian awal, peningkatan kualitas pikiran dari hafalan ke pemahaman ini akan memberi pengaruh yang sangat signifikan terhadap bagaimana para pemain memandang suatu taktik dan peran yang ada di lapangan. perubahan pandangan yang menuju lebih advance ini seiring waktu akan membuat pengambilan keputusan atau decision making para pemain lebih baik, lebih kreatif, dan lebih efisien.
Kendati demikian, saya pun menyadari bahwa permasahan peningkatan kualitas footbal iq para pemain ini hanyalah salah satu pekerjaan rumah dari sekian banyak pekerjaan rumah lainnya yang harus diselesaikan oleh Timnas Indonesia. Namun, tidak perlu terburu-buru, carut-marut sepakbola Indonesia yang begitu rumit ini memang harus diurai secara perlahan-lahan oleh setiap elemen yang berkecimpung di per-sepakbolaan Indonesia. keterburuan hanya akan menimbulkan kerumitan-kerumitan baru yang makin mempersulit sepakbola Indonesia untuk mewujudkan cita-cita utama kita yaitu berlaga di pentas Piala Dunia.