“Himmel Pasti akan Melakukannya”: Satu Taktik Mendekati Tuhan
Bagi kita, mungkin celotehan-celotehan perihal ikhlas sudah merupakan suatu hal yang begitu membosankan dan dianggap hanya angin lalu karena begitu seringnya kita mendengar hal tersebut baik itu lewat para penceramah di layar gawai ataupun yang keluar langsung dari mulut teman atau orang tua. padahal kita sendiri pun sebenarnya menyadari betapa pentingnya bersikap ikhlas dalam menjalani hidup di dunia yang sering kita sebut keras ini, tetapi apa yang membuat celotehan-celotehan tersebut tidak dapat merasuk hingga ke relung-relung hati para pendengarnya?, apakah murni karena faktor dari dalam diri yang enggan menerima hal tersebut? atau sebenarnya ada faktor lain yang sebetulnya dapat memberikan dampak yang begitu signifikan terhadap penerimaan perihal ikhlas ini?.
“Himmel Pasti akan Melakukannya”. sebuah kalimat yang cukup sering muncul beberapa saat lalu di jagat dunia maya, terutama setelah viralnya aksi seorang pria asal Taiwan yang berhasil menghentikan aksi penusukan yang dilakukan di Taichung Metro, Taiwan. yang membuat ia terkenal bukanlah soal aksi yang ia lakukan, tetapi alasan yang ia sampaikan kepada pihak polisi dan wartawan kala itu, yaitu “karena Himmel Sang Pahlawan pasti juga akan melakukannya”.
membaca berita tersebut, membuat saya teringat pada suatu malam minggu yang dingin dan basah akibat tenungan para tuna asmara dimana kala itu saya sedang berdebat dengan teman saya — yang juga bagian dari para tuna asmara yang menenung malam minggu saat itu — perihal mengapa orang-orang yang bersedekah di kotak amal sehabis sholat jum’at sering menutupi tangan mereka ketika memasukkan uang ke dalam kotak amal.
ia berdalih bahwa hal tersebut dilakukan agar jumlah uang yang dimasukkan ke kotak amal tidak terlihat oleh orang lain sehingga meminimalisir munculnya sifat ria atau pamer di dalam hati si penyumbang.saya pun menyanggah alasan tersebut karena menurut saya hal itu merupakan suatu keanehan. kotak amal yang digelar setelah sholat Jum’at itu merupakan bentuk sumbangan bukan paksaan, yang namanya sumbangan tentu esensinya adalah keikhlasan, dan keikhalasan adalah berarti cinta. jadi, jikalau seorang penyumbang tersebut sudah mengambil uang di saku baju dan memasukkan uang tersebut ke kotak amal, seharusnya kekhawatiran akan timbulnya rasa ria atau pamer dalam hati itu mustahil terjadi karena sifat ikhlas yang melekat pada perbuatan menyumbang tadi.
berselang kemudian, bantahan kembali dikemukakan oleh teman saya, ia berpendapat bahwa yang saya maksud memanglah benar adanya, tetapi sangat tidak realistis untuk dipaksakan secara langsung kepada orang awam. cintanya orang awam tentulah masih belum sepenuhnya tulus dan masih terdapat banyak celah. maka, wajar-wajar saja kalau rasa ikhlas yang muncul di dalam hati mereka yang awam masihlah inkonsisten dan jarang-jarang. mereka — orang-orang yang bertaqwa — yang mampu mencapai level ikhlas yang hakiki tentu saja adalah orang-orang yang ketulusan cintanya murni tanpa lecet dan cela. karena semakin murni ketulusan cinta yang dimiliki seseorang maka semakin murni pula keikhlasan yang muncul di dalam hatinya. saya pun tertegun akan jawaban yang teman saya berikan dan “ikhlas” mengakui kekalahan pada perdebatan kala itu.
Fenomena “Himmel” ini memperlihatkan suatu hal yang begitu sering terlewatkan bagi kebanyakan orang dalam hal ibadah, yaitu semua orang pada dasarnya mampu untuk berlaku ikhlas secara murni. orang-orang kerap kali meremehkan ibadah orang lain karena dianggap kurang ikhlas atau bukan karena Tuhan, padahal tidak semua orang mampu langsung dapat mencapai tingkat keihklasan yang murni terhadap Tuhan. Namun, setiap orang pasti memiliki satu hal baik itu seseorang, benda, atau apapun itu yang ia bisa berlaku ikhlas secara murni terhadap hal tersebut. Orang tua terhadap anak, istri kepada suami, kakek dan nenek kepada cucu-cucunya, dan lain sebagainya. Keikhlasan yang murni adalah tanda cinta murni dari seorang pecinta karena ikhlas adalah buah dari rasa cinta dan Himmel serta teman-teman nya menunjukkan hal tersebut dengan sangat baik dan gamblang dalam seri Frieren: Beyond Journey;s end (selanjutnya disebut sebagai seri Frieren).
Di dalam seri Frieren, Himmel dianggap sebagai pahlawan karena mampu mengalahkan Raja Iblis yang telah lama meneror dunia. sedangkan bagi rekan-rekannya, Himmel dikenal sebagai pria yang agak narsis, sering bercanda, dan yang terpenting adalah kebaikan yang tidak pandang bulu. mulai dari membasmi Raja Iblis sampai mendorong gerobak yang tersangkut di kubangan pun ia lakukan jikalau memang ada yang memerlukan bantuan dirinya. rekan-rekannya pun dibuat bertanya-tanya mengapa party mereka yang bertugas mengalahkan Raja iblis malah sibuk membantu membereskan masalah remeh-temeh warga desa seperti mendorong gerobak yang tersangkut di kubangan dan membantu mengangkat jerami dari satu tempat ke tempat lainnya?. Saat itu Himmel menjawab “mengubah hidup seseorang walaupun dalam hal yang kecil pun akan membuat orang yang hidup nya telah berubah tersebut akan selalu ingat pada orang yang merubah dirinya”
Jawaban Himmel tersebut pada awalnya tidak menjadi satu jawaban yang begitu membekas di hati rekan-rekannya. Namun, seiring waktu yang mereka habiskan bersama selama 10 tahun petualangan sebagai sesama rekan, jawaban tersebut tanpa disadari telah mengakar begitu kuat di hati mereka. ketika mereka akhirnya memisahkan diri masing-masing setelah petualangan mereka berakhir, rekan-rekan Himmel yaitu Frieren, Eisen dan Heiter mereka pun secara tidak sadar juga tetap melakukan kebaikan-kebaikan kecil tanpa imbalan kepada orang-orang yang mereka temui. Seperti Heiter yang mengadopsi Fern yang saat itu merupakan korban dari peperangan yang merenggut kedua orang tuanya. Heiter merawat Fern dengan kasih sayang dan penuh perhatian hingga Fern berusia dewasa dan mampu berdiri sendiri serta cukup piawai menggunakan sihir untuk menjadi murid dari rekan nya yaitu Frieren. saat itu Frieren pun menanyakan kepada Heiter, mengapa Heiter yang pemabuk ini mau mengadopsi dan merawat seorang anak yang merupakan suatu pekerjaan yang tentunya sangat merepotkan. saat itu Heiter menjawab dengan jawaban yang membuat Frieren teringat kembali kepada Himmel, yaitu “karena Himmel Sang Pahlawan pasti akan melakukannya”.
Ingatan akan jawaban yang Himmel berikan tersebut pun membuat Frieren, seorang Elf berumur kurang lebih 1000 tahun yang biasanya jarang menampakkan ekspresi dan peduli dengan sekitarnya, perlahan-lahan berubah menjadi lebih ekspresif dan lebih peduli dengan sekitarnya yang dapat dilihat di sepanjang seri “Frieren” ini berjalan.
Ketulusan atau Keikhlasan yang ideal tentu merupakan suatu hal yang ingin dicapai oleh seseorang, tapi kita juga harus ingat bahwa kita bukanlah Tuhan Sang Pemilik Ketulusan. kita hanyalah manusia penuh celah yang hanya bisa berusaha menggapai ke-ideal-an. Seri Frieren mengajarkan pada kita bahwa kita — makhluk yang penuh celah ini — bukan tidak mampu berlaku ikhlas, justru kita mampu dan sanggup untuk menggapainya walaupun hanya sesekali dan bukan terhadap Tuhan. Namun, Tuhan dalam firman-Nya memerintahkan kita untuk ber-ikhtiar/berusaha bukan berpangku tangan. dalam salah satu kaidah Ushul Fiqh (ilmu tentang hukum-hukum Islam) menyatakan bahwa apabila kita tidak dapat melakukan sesuatu sepenuhnya maka jangan tinggalkan sepenuhnya. maksudnya, keikhlasan murni memang sulit dan nampak mustahil untuk dicapai, tetapi bukan berarti kita lantas menyerah dan berhenti berusaha. kita yang tetap berusaha ikhlas karena Tuhan walaupun terdapat celah dimana-mana itulah yang justru paling dicintai oleh Yang Maha Mencintai.