Ekosentrisme Senshi dan Gugatannya Terhadap Antroposentrisme
Sejak dulu, Manusia merupakan satu entitas kecil seperti makhluk hidup — juga makhluk tak hidup — lainnya yang menjadi bagian dari keberagaman dan kemegahan alam semesta ciptaan Tuhan. dari kumpulan butir pasir yang beterbangan dan mendarat di halaman rumah hingga berbagai galaksi yang berukuran jutaan cahaya di kegelapan luar angkasa, semua itu merupakan bagian dari alam semesta. Namun, dari semua makhluk hidup dan tak hidup yang ada di alam semesta ini, hanya manusia lah yang diberkahi oleh Tuhan yang Maha Esa dengan ornamen yang lengkap, yaitu nafsu dan akal budi. baik hewan, tumbuhan, hingga malaikat (bagi mereka yang mengimaninya) hanya diberkahi oleh Tuhan dengan salah satu ornamen saja baik itu hanya nafsu atau hanya akal budi.
dengan segala berkah dan keunikan yang dimiliki manusia, manusia tetaplah bagian dari alam semesta. ia bukanlah suatu entitas tersendiri yang terpisah dari alam. ia lahir, tumbuh, berkembang, dan kemudian mati di alam semesta dan selalu terhubung dengan alam semesta. hubungan manusia dengan alam ini pun sering disebut-sebut oleh para tokoh-tokoh agama ataupun para filsuf sebagai suatu cara menjadi manusia yang utuh dan sejati.
Mengutip dari Keraf yang mengutip pendapat dari Arne Naess, seorang filsuf ekosentrisme yang terkenal dengan gagasan “Deep Ecology”nya bahwa manusia harus memandang alam sebagai tempat tinggal, sekaligus sebagai sebuah kearifan dalam menata tempat tinggal agar layak ditinggali dan membuat tempat tinggal tersebut mampu menunjang kehidupan generasi yang akan datang. didalam filosofi Deep Ecology itu sendiri dijelaskan bagaimana menurut Arne Naess seharusnya manusia memandang alam sebagai suatu subjek bukan objek, sebagai suatu yang hidup bukan sebagai yang mati, dan sebagai yang dicinta bukan sebagai pemuas nafsu belaka.
di masa sekarang, ekosentrisme mulai digaungkan demi melawan dominasi antroposentrisme yang memberikan dampak begitu buruk bagi lingkungan. dalam antroposentrisme, lingkungan dipandang hanya sebagai suatu objek tak berperasaan dan tak berakal. Lingkungan ada hanya untuk digunakan oleh manusia sepuasnya, semaunya, sekehendaknya. eksploitasi lingkungan, penebangan hutan secara berlebihan, tambang-tambang tak berperilingkungan, perburuan dan penangkapan hewan secara masif, serta sampah-sampah plastik yang menggunung dimana-mana merupakan pemandangan biasa dalam dunia yang dibalut antroposentrisme.
Tokoh-tokoh seperti Arne Naess hingga Greta Thurnberg pun bermunculan demi melawan ke-semena-menaan antroposentrisme terhadap lingkungan. tidak terkecuali bagi Ryoko Kui, Pengarang Animanga (animasi dan komik jepang) Dungeon Meshi. Dungeon Meshi adalah Animanga yang menceritakan petualangan Laios dan rekan-rekannya dalam bertahan hidup dengan memasak para monster di dungeon demi menghidupkan kembali adiknya yang telah terbunuh oleh Sang Naga Buas. dalam cerita Dungeon Meshi, ada satu karakter bernama Senshi, Senshi adalah rekan Laios yang berasal dari ras Dwarf(kurcaci) yang memegang posisi sebagai juru masak di kelompok Laios. lewat karakter Senshi, Ryoko Kui mencoba menggugat antroposentrisme yang menganggap lingkungan hanya sebagai sebuah objek pemuas nafsu belaka. Hal ini ditampilkan dan disampaikan begitu baik oleh Ryoko Kui pada episode 4 dalam adaptasi Anime Dungeon Meshi
Episode 4 menceritakan ketika Laios dan party nya bertemu dengan makhluk magis buatan yaitu Golem. tubuh golem utamanya terbuat dari tanah, lumpur, dan bebatuan yang kemudian diubah menjadi makhluk hidup dengan sedemikian rupa dan cara oleh mereka yang memiliki sihir. diluar dugaan, golem tersebut merupakan golem yang Senshi kenal karena dipunggungnya terdapat sayur-mayur yang tumbuh dengan baik dan melimpah. Senshi kemudian menjelaskan kepada Laios dan rekan-rekannya bahwa golem-golem yang terbuat dari tanah, lumpur dan bebatuan ini adalah ladang rahasia miliknya dalam menanam sayur-mayur di dalam dungeon. meski terkejut oleh perkataan Senshi, mereka pun pada akhirnya melumpuhkan — tidak membunuh atau menghancurkan — golem tersebut untuk memanen sayur-mayur yang melimpah di punggungnya.
Sambil memakan hidangan sayur-mayur yang baru saja mereka panen dari golem tadi, Senshi pun menyampaikan bagaimana ia melihat dungeon sebagai suatu ekosistem yang merupakan bagian dari alam raya, berbeda 180 derajat dengan para penjelajah lainnya yang melihat dungeon hanya sebagai objek pemuas nafsu harta dan kebanggan dalam diri mereka. ia menjelaskan bagaimana sistem kakus berjalan di dungeon yang ia buat sebagai pupuk untuk ladang berjalannya yaitu para golem sekaligus menjaga kebersihan di dungeon. ia pun juga menyadarkan Laios dan rekan-rekannya tentang alam dan manusia — termasuk dwarf dan elf — yang saling membutuhkan satu sama lain. melihat dungeon sebagai subjek bukan objek.
Sepanjang seri pun, Senshi diperlihatkan sangat ketat sekali dalam hal membuang-buang makanan. ia akan sangat marah ketika melihat seseorang yang membuang-buang makanan didepannya seperti yang dilakukan oleh Izutsumi, rekan Laios yang berbentuk setengah manusia dan setengah kucing. sifat Senshi yang seperti ini sekali lagi memperlihatkan bagaimana ia benar-benar menghargai dungeon sebagai makhluk hidup. sifat seperti ini secara tidak langsung mengatakan untuk tidak mengambil sesuatu di luar kebutuhan kita yang artinya tidak boleh ada eksploitasi terhadap alam.
Arne Naess, Greta Thurnberg, hingga Ryoko Kui adalah salah 3 dari banyak orang yang peduli terhadap alam dan memandang alam sebagai suatu subjek atau makhluk hidup. dengan cara mereka masing-masing, mereka mencoba membela alam dengan menggugat para pelaku antroposentris yang tak tau diri itu. Meski hal tersebut tentulah masih sangat sulit dan merupakan jalan yang begitu terjal untuk dilalui, tetapi cita-cita untuk melindungi alam dan hidup harmoni bersamanya tetaplah harus digaungkan dan dipelihara. karena alam adalah juga kita